“
Ada Kristen Stewart dalam The Runaways, film gres garapan sutradara Floria Sigismondi. Tapi jangan buru-buru mengira Kristen memegang peran seperti yang dia lakoni dalam The Twilight Saga. Dan sebenarnya memang bukan itu yang penting, melainkan pesan filmnya, yang kebetulan serupa dengan Rush: Beyond the Lighted Stage, dokumenter tentang Rush, band besar dari Kanada yang hingga kini jauh dari sorotan media.The Runaways adalah band yang membuktikan betapa keliru anggapan bahwa perempuan seharusnya tak memainkan rock’n’roll.”
Film The Runaways baru saja dirilis versi DVD-nya. Menjadikan sepak terjang band rock perempuan The Runaways sebagai latar, film berdasarkan memoar Cherie Currie berjudul Neon Angel: A Memoar of a Runaway ini berkisah tentang hubungan antara dua personel band dari pertengahan 1970-an itu, yakni Joan Jett dan Cherie Currie. Joan, untuk yang belum tahu, biasa tampil tomboi dengan busana hitam berbahan kulit, di samping mencangklong Gibson Melody Maker putih; pada 1982, bersama The Blackhearts, dia melambungkan I Love Rock’n’Roll sebagai hit nomor satu. Menghidupkan karakter Joan inilah tugas Kristen.
The Runaways adalah band yang membuktikan betapa keliru anggapan bahwa perempuan seharusnya tak memainkan rock’n’roll. Dibentuk pada 1975 berdasarkan ide Joan yang didukung Kim Fowley, seorang impresario dan produser, band ini dalam salah satu formasinya terdiri atas Joan (gitar dan vokal), Cherie (vokal utama), Sandy West (drum), dan Lita Ford (gitar), dan Jackie Fox (bas). Tak mudah memulai sesuatu yang belum pernah ada dan apalagi mendobrak wilayah yang sudah telanjur didominasi laki-laki. Tapi mereka bisa.
“
....menurut tagline-nya, dokumentasi tentang 'band yang Anda kenal, kisah yang Anda tak tahu'”
Di situlah justru, sebenarnya, poin yang lebih penting sebagai pelajaran. Dan Joan yang menjadi representasinya.
Menyukai musik sejak remaja, Joan sering menyelinap keluar malam untuk menonton konser yang ada di kotanya. Dia memperoleh gitar pertamanya pada usia 13 tahun. Ketika orang tuanya pindah ke pinggiran Los Angeles, Joan merasa kesempatannya menjadi lebih besar untuk mewujudkan impian menjadi musisi rock seperti idolanya, Suzi Quatro. Tekadnya kukuh.
Orang tua Joan berperan dalam membentuk karakter itu. “Ketika aku masih kanak-anak, orang tuaku bilang aku bisa menjadi apa saja yang aku mau. Dan aku memasukkannya ke dalam hati. Sungguh. Jadi aku tak akan membiarkan orang lain mendikte apa yang bisa atau tidak bisa kulakukan. Dan tentu saja aku tak akan membiarkan orang lain melarangku bermain musik rock’n’roll, atau bahwa aku tak boleh bermain gitar. Lupakan saja. Itu tak akan terjadi,” katanya kepada majalah Guitar World, Mei lalu.
Keteguhan tekad dan sikap tak mau didikte itulah yang berperan di balik pembentukan dan sukses (walau hanya sekitar empat tahun) The Runaways. Soal band itu yang akhirnya berkeping-keping, Joan mengaku sempat sangat terpukul dan yakin orang pasti mencemooh dengan berkata, “Kami sudah bilang pasti tak akan berhasil.” Tapi dia berhasil menguatkan diri lagi, mengatasi segala penolakan saat baru memulai bersolo karier, dan akhirnya mencapai sukses yang barangkali melampaui The Runaways sendiri.
Dengan sedikit variasi, Rush pun mendedahkan kisah yang mestinya sama pantas untuk bahan berkaca, juga teladan. Digarap oleh duet Sam Dunn dan Scot McFadyen, Rush: Beyond the Lighted Stage dibungkus sebagai, menurut tagline-nya, dokumentasi tentang “band yang Anda kenal, kisah yang Anda tak tahu”. Dalam 100 menit lebih sedikit durasinya memang begitulah adanya: banyak detail yang diungkap, yang sebelumnya barangkali orang, mereka yang mengaku penggemar, tahu hanya dari rumor, atau malah “gelap” sama sekali.
Dunn dan McFadyen sebenarnya membangun film yang dirilis April lalu itu dengan struktur sederhana saja. Alurnya biasa, kronologis. Mereka memulai dari pembentukan Rush pada 1968, masuknya Neil Peart menggantikan drummer John Rutsey, lalu meneropong lebih dekat periode-periode terpenting (ketika mereka memukau antara lain dengan La Villa Strangiato, Closer to the Heart, The Spirit of Radio, dan Tom Sawyer), sebelum kemudian memotret posisi band ini sekarang. Tapi cara mereka menyingkap kehidupan setiap personel, yang begitu multidimensi, sungguh membubuhkan elemen yang memikat bahkan bagi mereka yang tak fanatik menggemari Rush.
Misalnya kontras antara Geddy Lee (bas, vokal) dan Alex Lifeson (gitar, vokal), dua pendiri band yang tersisa, dan Neil. Geddy dan Alex tampak sebagai pribadi yang dengan senang hati menyapa penggemar, melayani permintaan tanda tangan, dan lain-lain. Sebaliknya, Neil, yang oleh Geddy disebut sebagai “orang baru kami”, cenderung mengeluhkan kenapa orang-orang meributkan keinginannya untuk tetap menjadi orang biasa. Walau demikian, perbedaan-perbedaan itu toh tak mempengaruhi hubungan di antara mereka.
Sesungguhnya dinamika itulah yang mengikat erat hubungan di antara mereka. Diakui atau tidak, pengungkapannya telah mentransformasikan film ini lebih dari sekadar narasi blak-blakan tentang Rush, band yang selalu menaruh kepedulian yang sama besarnya terhadap estetika bentuk dan isi lagu-lagunya. Di luar itu, kita akan merasakan pula adanya pengakuan mengenai cara yang tepat untuk tetap bersahaja di hadapan popularitas yang menjulang, untuk teguh pada pendirian dan orisinalitas, dan untuk bersikap persetan-apa-kata-orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar